Slider

profile picture
profile picture
nice to meet you

Welcome to My Blog

Hi, aku Ucha. Wanita 32 tahun yang sibuk sebagai housewife, content writer, dan editor. Di antara kesibukanku, aku juga seorang skincare enthusiast, suka journaling, dan tertarik dengan belajar. Simak perjalananku di sini. Mari belajar dan bertumbuh •₊✧.

more about me

Life

Life

Skincare

Skincare

Self Talk

Self Talk

Subscribe to my Newsletter

 


Sering mendengar kalimat yang diawali kata-kata berikut? “Masih untung..”, “Untung cuma..”, “Bersyukur aja..”, atau “Masih mending..”

Masyarakat Indonesia dikenal dengan ketangguhannya menghadapi kemalangan dengan mensyukuri hal-hal kecil. Agaknya dalam segala situasi, masyarakat Indonesia masih bisa melihat celah keberuntungan dalam hidupnya.

Katakanlah saat terjadi sebuah kecelakaan, beberapa dari kita pasti pernah mendengar, “Untung masih gapapa”. Dalam situasi kerja yang penuh stres pun kita masih berpikir, “Mending capek kerja daripada capek nyari kerja”. Ya kan?


Keterampilan bersyukur mengedepankan pengelihatan akan sisi positif dalam setiap aspek kehidupan. Bersyukur memang menambah kenikmatan hidup. Dalam dunia modern ini, kita bisa mengenal beragam istilah psikologi seperti, emotional agility, resilience, atau istilah lain-lainnya.

Bagiku keterampilan itu juga merupakan efek tidak langsung dan jangka panjang dari latihan bersyukur selama bertahun-tahun. Setuju?


Menurutmu adakah sisi negatif dari rasa syukur? Ya, ada. Mungkin kata “negatif” perlu diganti dengan istilah yang lebih tepat, kita akan menemukannya nanti.

Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, meskipun itu adalah hal yang positif. Terlalu bersyukur juga punya dampak yang sama.


Bersyukur mestinya menjadi reaksi, bukan aksi.

Kita bekerja dengan diliputi stres. Rekan yang toxic, gaji yang tidak standar, dan kerja keras tidak diapresiasi.

Bersyukur karena masih bekerja di tengah situasi kesulitan ekonomi adalah reaksi. Akan tetapi, membiarkan pemicu stres masuk dalam kehidupan kita adalah aksi.

Ya, akui dahulu kalau bersyukur bukan solusi. Kita tetap perlu jalan keluar yang konkret untuk menyelesaikan masalah kita.


Bersyukur kadang membuat buta.

Rasa syukur berlebihan juga bisa membuat kita menutup mata dari kebenaran. Membuat kita tidak menyadari sumber masalah sebenarnya atau bahkan tidak menyadari adanya masalah.

“Ah masih digaji ini”. Padahal gajinya di bawah standar. “Masih untung ngga keluar modal, malah dikasih fasilitas kantor”. Padahal maksudnya supaya bisa dihubungi 24 jam nonstop, lembur tanpa dibayar. Lalu, pulang dalam kondisi kehabisan energi dan stres berkepanjangan.

Kembali lagi, akui juga kalau ada yang salah. Lalu, cari jalan keluarnya.


Ogah berkembang dan keengganan mengevaluasi.

Bersyukur dan merasa cukup adalah pasangan yang tak terpisahkan. Mensyukuri kecukupan saat ini tentu hal yang baik. Akan tetapi, ogah berkembang dan enggan mengevaluasi diri tampak seperti menjerumuskan diri sendiri.

Setiap orang memiliki potensi yang berbeda-beda dan diberi kapasitas berpikir yang luar biasa. Namun, apa jadinya kalau kita merasa sudah cukup baik dan memilih begini-begini saja?

Misalnya saja, asal bisa beli beras, sudah cukup. Sebetulnya tidak ada yang salah, sih. Mungkin juga hidup akan aman-aman saja. Akan tetapi, coba bayangkan jika kita bisa memilih nutrisi yang baik. Lalu, melahirkan generasi dengan genetik yang berkualitas.

Selagi dikaruniai daya ingat yang baik, mengapa tidak membaca? Jika diberi talenta kepekaan rasa, mengapa tidak membuat karya seni? Ambil kesempatan, selagi ada!


Kembali bicara soal potensi yang berbeda, kesalahan dari rasa syukur berlebihan berikutnya adalah terlalu maklum. Memang tidak ada manusia yang sempurna, tetapi kita bisa terus belajar, kok. Terlalu memaklumi diri menjebak kita untuk berhenti.

Gagal mencoba sekali, langsung berhenti. Padahal, siapa tahu bahwa sebenarnya kita punya potensi, hanya saja perlu digali.

Berbuat kesalahan, tidak mau mengakui dengan dalih maklum karena tidak sempurna. Padahal, evaluasi diri membawa peluang untuk memperbaiki keadaan.


Intinya, bersyukur itu baik, perlu, dan penting. Namun, memahami porsi dan tahu kapan harus mengakui keadaan yang sebenarnya juga tak kalah penting. Mari pilah-pilah lagi, mana yang patut disyukuri dan mana yang harusnya berhenti.

Bersyukur memang menambah kenikmatan, tetapi kalau ada yang salah, akui saja.

2/06/2024

 


Sering mendengar kalimat yang diawali kata-kata berikut? “Masih untung..”, “Untung cuma..”, “Bersyukur aja..”, atau “Masih mending..”

Masyarakat Indonesia dikenal dengan ketangguhannya menghadapi kemalangan dengan mensyukuri hal-hal kecil. Agaknya dalam segala situasi, masyarakat Indonesia masih bisa melihat celah keberuntungan dalam hidupnya.

Katakanlah saat terjadi sebuah kecelakaan, beberapa dari kita pasti pernah mendengar, “Untung masih gapapa”. Dalam situasi kerja yang penuh stres pun kita masih berpikir, “Mending capek kerja daripada capek nyari kerja”. Ya kan?


Keterampilan bersyukur mengedepankan pengelihatan akan sisi positif dalam setiap aspek kehidupan. Bersyukur memang menambah kenikmatan hidup. Dalam dunia modern ini, kita bisa mengenal beragam istilah psikologi seperti, emotional agility, resilience, atau istilah lain-lainnya.

Bagiku keterampilan itu juga merupakan efek tidak langsung dan jangka panjang dari latihan bersyukur selama bertahun-tahun. Setuju?


Menurutmu adakah sisi negatif dari rasa syukur? Ya, ada. Mungkin kata “negatif” perlu diganti dengan istilah yang lebih tepat, kita akan menemukannya nanti.

Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, meskipun itu adalah hal yang positif. Terlalu bersyukur juga punya dampak yang sama.


Bersyukur mestinya menjadi reaksi, bukan aksi.

Kita bekerja dengan diliputi stres. Rekan yang toxic, gaji yang tidak standar, dan kerja keras tidak diapresiasi.

Bersyukur karena masih bekerja di tengah situasi kesulitan ekonomi adalah reaksi. Akan tetapi, membiarkan pemicu stres masuk dalam kehidupan kita adalah aksi.

Ya, akui dahulu kalau bersyukur bukan solusi. Kita tetap perlu jalan keluar yang konkret untuk menyelesaikan masalah kita.


Bersyukur kadang membuat buta.

Rasa syukur berlebihan juga bisa membuat kita menutup mata dari kebenaran. Membuat kita tidak menyadari sumber masalah sebenarnya atau bahkan tidak menyadari adanya masalah.

“Ah masih digaji ini”. Padahal gajinya di bawah standar. “Masih untung ngga keluar modal, malah dikasih fasilitas kantor”. Padahal maksudnya supaya bisa dihubungi 24 jam nonstop, lembur tanpa dibayar. Lalu, pulang dalam kondisi kehabisan energi dan stres berkepanjangan.

Kembali lagi, akui juga kalau ada yang salah. Lalu, cari jalan keluarnya.


Ogah berkembang dan keengganan mengevaluasi.

Bersyukur dan merasa cukup adalah pasangan yang tak terpisahkan. Mensyukuri kecukupan saat ini tentu hal yang baik. Akan tetapi, ogah berkembang dan enggan mengevaluasi diri tampak seperti menjerumuskan diri sendiri.

Setiap orang memiliki potensi yang berbeda-beda dan diberi kapasitas berpikir yang luar biasa. Namun, apa jadinya kalau kita merasa sudah cukup baik dan memilih begini-begini saja?

Misalnya saja, asal bisa beli beras, sudah cukup. Sebetulnya tidak ada yang salah, sih. Mungkin juga hidup akan aman-aman saja. Akan tetapi, coba bayangkan jika kita bisa memilih nutrisi yang baik. Lalu, melahirkan generasi dengan genetik yang berkualitas.

Selagi dikaruniai daya ingat yang baik, mengapa tidak membaca? Jika diberi talenta kepekaan rasa, mengapa tidak membuat karya seni? Ambil kesempatan, selagi ada!


Kembali bicara soal potensi yang berbeda, kesalahan dari rasa syukur berlebihan berikutnya adalah terlalu maklum. Memang tidak ada manusia yang sempurna, tetapi kita bisa terus belajar, kok. Terlalu memaklumi diri menjebak kita untuk berhenti.

Gagal mencoba sekali, langsung berhenti. Padahal, siapa tahu bahwa sebenarnya kita punya potensi, hanya saja perlu digali.

Berbuat kesalahan, tidak mau mengakui dengan dalih maklum karena tidak sempurna. Padahal, evaluasi diri membawa peluang untuk memperbaiki keadaan.


Intinya, bersyukur itu baik, perlu, dan penting. Namun, memahami porsi dan tahu kapan harus mengakui keadaan yang sebenarnya juga tak kalah penting. Mari pilah-pilah lagi, mana yang patut disyukuri dan mana yang harusnya berhenti.



Alarm berdering pukul 5 pagi. Aku terbangun dengan payahnya dan mematikan alarmku. Mataku masih terasa berat. Kalau bukan karena cucian yang sudah menumpuk, aku pasti melanjutkan tidurku lagi.

Jam menunjukkan pukul 5 lewat 34 menit saat aku memaksakan diri untuk bangun dan membuat segelas teh panas. “Ayo, bangun. Kapan lagi kamu menikmati pagi yang sedingin ini?” kataku menghibur diri.

Di meja, laptop dan alat tulisku sudah siap. Aku menghela nafas sejenak, menyeruput teh panasku sembari menengok ke jendela. Langit hari ini cerah sekali, aku berharap agak mendung sedikit.


Beberapa waktu yang lalu saat pulang, aku menyempatkan membeli alat-alat tulis. Kalau dipikir-pikir, lucu juga. Bagaimana bisa aku terus-terusan memilih pupen yang sama dari tahun ke tahun, memakainya sampai habis, lalu membelinya kembali, di toko yang sama pula. 

Sampai saat ini, aku belum menemukan pulpen yang sama di toko alat tulis lain. Menggantinya dengan tipe lain sebetulnya bisa saja, tetapi rasanya jadi kurang nyaman. Aneh.

Aku juga membeli sebuah buku catatan kecil. Benar-benar kecil, harganya saja cuma seribu rupiah. Belakangan, buku ini menjadi sarana morning pages. Tempatku menulis apa saja yang muncul dipikiranku yang kadang bisa se-random itu.


Belakangan ini, aku mencoba kembali menulis. Prosesnya tidak mudah. Jika dibandingkan produktivitasku saat remaja, mungkin kali ini hanya 10%-nya saja.

Aku pun teringat saat pertama kali menjadi freelancer. Selain mesti bergelut dengan mood, perbedaan genre membuatku kesulitan pada awalnya. Akan tetapi aku memiliki keyakinan bahwa hal yang dilakukan terus menerus akan menjadi kebiasaan.

Dan benar saja, meski butuh waktu satu tahun lamanya, pekerjaan yang tadinya menunggu mood, kini bisa dilakukan dengan autopilot. Kalau dibandingkan kembali, produktivitasku mencapai 2-3 kali lipat.

Kali ini, aku menjalani proses dari awal lagi dengan genre yang berbeda. Dan ternyata sulit sekali. Satu bulan pertama, aku mencoba menjalankan rencana konten yang aku buat, tetapi gagal. Bulan kedua, aku mempertanyakan lagi apa yang aku mau. Memasuki bulan ketiga, hampir sama. Hanya saja aku lebih memaksakan diri untuk konsisten. Aku menunggu masa kapan aktivitas ini menjadi autopilot lagi seperti 15 tahun lalu?

Paragraf pagi hari

2/05/2024



Alarm berdering pukul 5 pagi. Aku terbangun dengan payahnya dan mematikan alarmku. Mataku masih terasa berat. Kalau bukan karena cucian yang sudah menumpuk, aku pasti melanjutkan tidurku lagi.

Jam menunjukkan pukul 5 lewat 34 menit saat aku memaksakan diri untuk bangun dan membuat segelas teh panas. “Ayo, bangun. Kapan lagi kamu menikmati pagi yang sedingin ini?” kataku menghibur diri.

Di meja, laptop dan alat tulisku sudah siap. Aku menghela nafas sejenak, menyeruput teh panasku sembari menengok ke jendela. Langit hari ini cerah sekali, aku berharap agak mendung sedikit.


Beberapa waktu yang lalu saat pulang, aku menyempatkan membeli alat-alat tulis. Kalau dipikir-pikir, lucu juga. Bagaimana bisa aku terus-terusan memilih pupen yang sama dari tahun ke tahun, memakainya sampai habis, lalu membelinya kembali, di toko yang sama pula. 

Sampai saat ini, aku belum menemukan pulpen yang sama di toko alat tulis lain. Menggantinya dengan tipe lain sebetulnya bisa saja, tetapi rasanya jadi kurang nyaman. Aneh.

Aku juga membeli sebuah buku catatan kecil. Benar-benar kecil, harganya saja cuma seribu rupiah. Belakangan, buku ini menjadi sarana morning pages. Tempatku menulis apa saja yang muncul dipikiranku yang kadang bisa se-random itu.


Belakangan ini, aku mencoba kembali menulis. Prosesnya tidak mudah. Jika dibandingkan produktivitasku saat remaja, mungkin kali ini hanya 10%-nya saja.

Aku pun teringat saat pertama kali menjadi freelancer. Selain mesti bergelut dengan mood, perbedaan genre membuatku kesulitan pada awalnya. Akan tetapi aku memiliki keyakinan bahwa hal yang dilakukan terus menerus akan menjadi kebiasaan.

Dan benar saja, meski butuh waktu satu tahun lamanya, pekerjaan yang tadinya menunggu mood, kini bisa dilakukan dengan autopilot. Kalau dibandingkan kembali, produktivitasku mencapai 2-3 kali lipat.

Kali ini, aku menjalani proses dari awal lagi dengan genre yang berbeda. Dan ternyata sulit sekali. Satu bulan pertama, aku mencoba menjalankan rencana konten yang aku buat, tetapi gagal. Bulan kedua, aku mempertanyakan lagi apa yang aku mau. Memasuki bulan ketiga, hampir sama. Hanya saja aku lebih memaksakan diri untuk konsisten. Aku menunggu masa kapan aktivitas ini menjadi autopilot lagi seperti 15 tahun lalu?


Pernahkah kamu merasa segala sesuatu terasa tidak nyaman? Pekerjaan yang memberi pressure, hubungan yang mengharuskanmu menjaga image, social media yang membosankan, atau secara keseluruhan hidupmu terasa flat dan membosankan?

Begitu banyak ketidaknyamanan sehingga rasanya lebih mudah bagimu untuk berada di ruangan sendiri, bepergian sendiri, dan menghindari bersosialisasi. Mungkin awalnya kamu akan menghapus foto profilmu, menyembungikan statusmu, hingga lama-kelamaan menghapus social media-mu. Sebenarnya kamu baik-baik saja, tetapi entah bagaimana tiba-tiba semua hal terasa melelahkan.


Aku pun pernah merasa demikian. Berawal dari kesibukan yang disalahartikan oleh beberapa orang, segala hal jadi aku pikirkan secara berlebihan. Bersosialisasi jadi lebih melelahkan karena terus-terusan menghindari kesalahan. Sampai karena kelelahan, aku memilih menyepi dan menghilang dari radar.

Padahal, sebagai pekerja kreatif, aku harus terlihat. Benar-benar terlihat. Sebab, bagaimana orang akan mengenal karyaku jika bukan melalui aku sendiri, bukan?


Menghindari banyak hal.

Tadinya, kupikir godaan dunia hanya seputar harta, jabatan, dan kesombongan yang selama ini aku wanti-wanti ke diriku sendiri. Ternyata, menghilang juga menjadi godaan.

Sendirian itu memanjakan. Banyak hal yang tadinya rumit jadi lebih sederhana karena aku hanya perlu memikirkan diri sendiri saja. Banyak hal yang tadinya aku pusingkan, sekarang terasa simpel.

Tidak perlu ribet berdamai dengan keadaan dan manusianya. Aku mulai berhenti bercerita, tidak memberi kabar, dan mengecilkan lingkup sosial.


Berdamai.

Akan tetapi, hidup terisolasi juga tidak baik, bukan? Selain karena kita tetap membutuhkan orang lain, bekerja di dunia kreatif juga mengharuskanku supaya dikenal. Jadi, aku perlu belajar untuk berdamai dengan keadaan.

Perlahan aku mulai membuka diri dengan percakapan dan orang-orang baru. Aku belajar bersabar dan menoleransi banyak hal supaya tidak terlalu kaku dan memberi jeda setelah itu. Memang melelahkan, tetapi ini juga demi kebaikan.

Godaan itu bernama menarik diri

2/04/2024


Pernahkah kamu merasa segala sesuatu terasa tidak nyaman? Pekerjaan yang memberi pressure, hubungan yang mengharuskanmu menjaga image, social media yang membosankan, atau secara keseluruhan hidupmu terasa flat dan membosankan?

Begitu banyak ketidaknyamanan sehingga rasanya lebih mudah bagimu untuk berada di ruangan sendiri, bepergian sendiri, dan menghindari bersosialisasi. Mungkin awalnya kamu akan menghapus foto profilmu, menyembungikan statusmu, hingga lama-kelamaan menghapus social media-mu. Sebenarnya kamu baik-baik saja, tetapi entah bagaimana tiba-tiba semua hal terasa melelahkan.


Aku pun pernah merasa demikian. Berawal dari kesibukan yang disalahartikan oleh beberapa orang, segala hal jadi aku pikirkan secara berlebihan. Bersosialisasi jadi lebih melelahkan karena terus-terusan menghindari kesalahan. Sampai karena kelelahan, aku memilih menyepi dan menghilang dari radar.

Padahal, sebagai pekerja kreatif, aku harus terlihat. Benar-benar terlihat. Sebab, bagaimana orang akan mengenal karyaku jika bukan melalui aku sendiri, bukan?


Menghindari banyak hal.

Tadinya, kupikir godaan dunia hanya seputar harta, jabatan, dan kesombongan yang selama ini aku wanti-wanti ke diriku sendiri. Ternyata, menghilang juga menjadi godaan.

Sendirian itu memanjakan. Banyak hal yang tadinya rumit jadi lebih sederhana karena aku hanya perlu memikirkan diri sendiri saja. Banyak hal yang tadinya aku pusingkan, sekarang terasa simpel.

Tidak perlu ribet berdamai dengan keadaan dan manusianya. Aku mulai berhenti bercerita, tidak memberi kabar, dan mengecilkan lingkup sosial.


Berdamai.

Akan tetapi, hidup terisolasi juga tidak baik, bukan? Selain karena kita tetap membutuhkan orang lain, bekerja di dunia kreatif juga mengharuskanku supaya dikenal. Jadi, aku perlu belajar untuk berdamai dengan keadaan.

Perlahan aku mulai membuka diri dengan percakapan dan orang-orang baru. Aku belajar bersabar dan menoleransi banyak hal supaya tidak terlalu kaku dan memberi jeda setelah itu. Memang melelahkan, tetapi ini juga demi kebaikan.


Aku dan suamiku punya sebuah kaktus yang kami adopsi sejak 3 tahun lalu. Pada awalnya, ia hanya kaktus tanggung yang kami tempatkan dalam ruangan. Kami sering memindahkannya ke mana saja setiap kami mendekorasi ulang ruangan kami.

Seiring bertambahnya waktu dan kepindahan kami ke hunian baru, kaktus itu terabaikan. Kami menempatkannya di depan teras kami, tepatnya di bawah pohon mangga. Lama-kelamaan, kaktus itu tumbuh hingga 4 meter tingginya.

Pada suatu hari, hujan angin melanda area tempat tinggal kami dan merobohkan kaktus itu ke pohon mangga disebelahnya. Kaktus itu hampir patah dan mengempis di bagian ujungnya. “Yah, mungkin ia akan mati sebentar lagi”, pikirku.

Namun, pada suatu pagi, tepat beberapa hari sebelum tukang kebun yang kami sewa datang, kami malah melihat kaktus itu bertunas bunganya. Total ada 20 tunas! Rupanya, kaktus ini menolak untuk gugur ☺︎



Melihatnya bertumbuh demikian, aku jadi teringat akan diri sendiri, kira-kira 8 tahun lalu. Ada suatu masa ketika hidupku terasa gagal total. Kombinasi sakit fisik dan sakit pikiran yang luar biasa menjerumuskanku dalam keputus asaan. Seingatku, hidup terasa seperti formalitas yang harus dilakukan saja tanpa tahu tujuannya.

Hal yang bisa aku syukuri adalah keputusanku untuk tetap mengayuh hidup meski tak tahu arahnya ke mana. Namun, seperti kata pepatah, “akan ada suatu masa setiap pertanyaan mengenai kapan akan terjawab”, perlahan hidup mulai membaik dengan sendirinya.

Memang butuh waktu yang cukup lama dan relaps yang tak terhitung jumlahnya. Akan tetapi, aku bisa sembuh dengan sendirinya. Kini, setiap hari aku bisa merayakan hidup. Menolak gugur dan merayakan pertumbuhan sembari terus berbunga layaknya kaktus itu.

Hidup adalah perayaan

2/03/2024


Aku dan suamiku punya sebuah kaktus yang kami adopsi sejak 3 tahun lalu. Pada awalnya, ia hanya kaktus tanggung yang kami tempatkan dalam ruangan. Kami sering memindahkannya ke mana saja setiap kami mendekorasi ulang ruangan kami.

Seiring bertambahnya waktu dan kepindahan kami ke hunian baru, kaktus itu terabaikan. Kami menempatkannya di depan teras kami, tepatnya di bawah pohon mangga. Lama-kelamaan, kaktus itu tumbuh hingga 4 meter tingginya.

Pada suatu hari, hujan angin melanda area tempat tinggal kami dan merobohkan kaktus itu ke pohon mangga disebelahnya. Kaktus itu hampir patah dan mengempis di bagian ujungnya. “Yah, mungkin ia akan mati sebentar lagi”, pikirku.

Namun, pada suatu pagi, tepat beberapa hari sebelum tukang kebun yang kami sewa datang, kami malah melihat kaktus itu bertunas bunganya. Total ada 20 tunas! Rupanya, kaktus ini menolak untuk gugur ☺︎



Melihatnya bertumbuh demikian, aku jadi teringat akan diri sendiri, kira-kira 8 tahun lalu. Ada suatu masa ketika hidupku terasa gagal total. Kombinasi sakit fisik dan sakit pikiran yang luar biasa menjerumuskanku dalam keputus asaan. Seingatku, hidup terasa seperti formalitas yang harus dilakukan saja tanpa tahu tujuannya.

Hal yang bisa aku syukuri adalah keputusanku untuk tetap mengayuh hidup meski tak tahu arahnya ke mana. Namun, seperti kata pepatah, “akan ada suatu masa setiap pertanyaan mengenai kapan akan terjawab”, perlahan hidup mulai membaik dengan sendirinya.

Memang butuh waktu yang cukup lama dan relaps yang tak terhitung jumlahnya. Akan tetapi, aku bisa sembuh dengan sendirinya. Kini, setiap hari aku bisa merayakan hidup. Menolak gugur dan merayakan pertumbuhan sembari terus berbunga layaknya kaktus itu.



Sebuah kereta melaju perlahan dari arah utara ke selatan. Suara klaksonnya beberapa kali terdengar memanggil para penumpang agar beranjak dari kursinya.

Siang itu, penumpang cukup padat. Aku berjalan menyusuri gerbong menuju kursiku. Jalan setapaknya terasa lebih kecil dari terakhir kali aku naik kereta. Aku berjalan miring sembari mengucap permisa-permisi pada bapak-bapak yang kakinya terbuka lebar hingga melewati batas. “Mengapa ya ada orang-orang yang duduk dengan cara seperti itu?”, keluhku.


Aku duduk persis di samping jendela. Dengan model kursi yang tegak lurus, duduk di samping jendela menjadi kompensasi dari nyeri punggung yang harus ditanggung 3 jam berikutnya.

Kereta pun berjalan. Syukurlah pada hari itu gerbong cukup tenang tanpa orang-orang yang mengobrol, tertawa, menelepon, atau menyalakan handphone keras-keras. “Ah, tenangnya..”, batinku sambil tersenyum dalam masker.


Kereta sudah melaju kencang ketika aku menyadari bahwa hari itu cerah sekali. Langit tampak biru bersih dengan gumpalan awan jarang-jarang yang tampak seolah-olah menggantung.

Sawah di bawahnya tampak hijau cerah menyegarkan tampak melambai terkena hembusan angin. Gunung terlihat menjulang dengan gagah dari kejauhan. Aku terdiam sejenak dan segera mengeluarkan Airpod ku. Lalu, mencari playlist yang cocok untuk suasana itu.


Segera, alunan musiknya bergema dan mengalun bersautan di telingaku. Membawaku ke ruang yang berbeda, membuka kotak-kotak khayalan yang selama ini ku pendam, dan membuatku seolah-olah berbicara dengan memandang.

Rasanya aku kembali melekat dengan alam. Sebuah perasaan yang sudah lama aku lupa.

Cerita perjalanan

2/01/2024



Sebuah kereta melaju perlahan dari arah utara ke selatan. Suara klaksonnya beberapa kali terdengar memanggil para penumpang agar beranjak dari kursinya.

Siang itu, penumpang cukup padat. Aku berjalan menyusuri gerbong menuju kursiku. Jalan setapaknya terasa lebih kecil dari terakhir kali aku naik kereta. Aku berjalan miring sembari mengucap permisa-permisi pada bapak-bapak yang kakinya terbuka lebar hingga melewati batas. “Mengapa ya ada orang-orang yang duduk dengan cara seperti itu?”, keluhku.


Aku duduk persis di samping jendela. Dengan model kursi yang tegak lurus, duduk di samping jendela menjadi kompensasi dari nyeri punggung yang harus ditanggung 3 jam berikutnya.

Kereta pun berjalan. Syukurlah pada hari itu gerbong cukup tenang tanpa orang-orang yang mengobrol, tertawa, menelepon, atau menyalakan handphone keras-keras. “Ah, tenangnya..”, batinku sambil tersenyum dalam masker.


Kereta sudah melaju kencang ketika aku menyadari bahwa hari itu cerah sekali. Langit tampak biru bersih dengan gumpalan awan jarang-jarang yang tampak seolah-olah menggantung.

Sawah di bawahnya tampak hijau cerah menyegarkan tampak melambai terkena hembusan angin. Gunung terlihat menjulang dengan gagah dari kejauhan. Aku terdiam sejenak dan segera mengeluarkan Airpod ku. Lalu, mencari playlist yang cocok untuk suasana itu.


Segera, alunan musiknya bergema dan mengalun bersautan di telingaku. Membawaku ke ruang yang berbeda, membuka kotak-kotak khayalan yang selama ini ku pendam, dan membuatku seolah-olah berbicara dengan memandang.

Rasanya aku kembali melekat dengan alam. Sebuah perasaan yang sudah lama aku lupa.

Instagram