Sering mendengar kalimat yang diawali kata-kata berikut? “Masih untung..”, “Untung cuma..”, “Bersyukur aja..”, atau “Masih mending..”
Masyarakat Indonesia dikenal dengan ketangguhannya menghadapi kemalangan dengan mensyukuri hal-hal kecil. Agaknya dalam segala situasi, masyarakat Indonesia masih bisa melihat celah keberuntungan dalam hidupnya.
Katakanlah saat terjadi sebuah kecelakaan, beberapa dari kita pasti pernah mendengar, “Untung masih gapapa”. Dalam situasi kerja yang penuh stres pun kita masih berpikir, “Mending capek kerja daripada capek nyari kerja”. Ya kan?
Keterampilan bersyukur mengedepankan pengelihatan akan sisi positif dalam setiap aspek kehidupan. Bersyukur memang menambah kenikmatan hidup. Dalam dunia modern ini, kita bisa mengenal beragam istilah psikologi seperti, emotional agility, resilience, atau istilah lain-lainnya.
Bagiku keterampilan itu juga merupakan efek tidak langsung dan jangka panjang dari latihan bersyukur selama bertahun-tahun. Setuju?
Menurutmu adakah sisi negatif dari rasa syukur? Ya, ada. Mungkin kata “negatif” perlu diganti dengan istilah yang lebih tepat, kita akan menemukannya nanti.
Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, meskipun itu adalah hal yang positif. Terlalu bersyukur juga punya dampak yang sama.
Bersyukur mestinya menjadi reaksi, bukan aksi.
Kita bekerja dengan diliputi stres. Rekan yang toxic, gaji yang tidak standar, dan kerja keras tidak diapresiasi.
Bersyukur karena masih bekerja di tengah situasi kesulitan ekonomi adalah reaksi. Akan tetapi, membiarkan pemicu stres masuk dalam kehidupan kita adalah aksi.
Ya, akui dahulu kalau bersyukur bukan solusi. Kita tetap perlu jalan keluar yang konkret untuk menyelesaikan masalah kita.
Bersyukur kadang membuat buta.
Rasa syukur berlebihan juga bisa membuat kita menutup mata dari kebenaran. Membuat kita tidak menyadari sumber masalah sebenarnya atau bahkan tidak menyadari adanya masalah.
“Ah masih digaji ini”. Padahal gajinya di bawah standar. “Masih untung ngga keluar modal, malah dikasih fasilitas kantor”. Padahal maksudnya supaya bisa dihubungi 24 jam nonstop, lembur tanpa dibayar. Lalu, pulang dalam kondisi kehabisan energi dan stres berkepanjangan.
Kembali lagi, akui juga kalau ada yang salah. Lalu, cari jalan keluarnya.Ogah berkembang dan keengganan mengevaluasi.
Bersyukur dan merasa cukup adalah pasangan yang tak terpisahkan. Mensyukuri kecukupan saat ini tentu hal yang baik. Akan tetapi, ogah berkembang dan enggan mengevaluasi diri tampak seperti menjerumuskan diri sendiri.
Setiap orang memiliki potensi yang berbeda-beda dan diberi kapasitas berpikir yang luar biasa. Namun, apa jadinya kalau kita merasa sudah cukup baik dan memilih begini-begini saja?
Misalnya saja, asal bisa beli beras, sudah cukup. Sebetulnya tidak ada yang salah, sih. Mungkin juga hidup akan aman-aman saja. Akan tetapi, coba bayangkan jika kita bisa memilih nutrisi yang baik. Lalu, melahirkan generasi dengan genetik yang berkualitas.
Selagi dikaruniai daya ingat yang baik, mengapa tidak membaca? Jika diberi talenta kepekaan rasa, mengapa tidak membuat karya seni? Ambil kesempatan, selagi ada!
Kembali bicara soal potensi yang berbeda, kesalahan dari rasa syukur berlebihan berikutnya adalah terlalu maklum. Memang tidak ada manusia yang sempurna, tetapi kita bisa terus belajar, kok. Terlalu memaklumi diri menjebak kita untuk berhenti.
Gagal mencoba sekali, langsung berhenti. Padahal, siapa tahu bahwa sebenarnya kita punya potensi, hanya saja perlu digali.
Berbuat kesalahan, tidak mau mengakui dengan dalih maklum karena tidak sempurna. Padahal, evaluasi diri membawa peluang untuk memperbaiki keadaan.
Intinya, bersyukur itu baik, perlu, dan penting. Namun, memahami porsi dan tahu kapan harus mengakui keadaan yang sebenarnya juga tak kalah penting. Mari pilah-pilah lagi, mana yang patut disyukuri dan mana yang harusnya berhenti.
Bersyukur memang menambah kenikmatan, tetapi kalau ada yang salah, akui saja.
2/06/2024
Sering mendengar kalimat yang diawali kata-kata berikut? “Masih untung..”, “Untung cuma..”, “Bersyukur aja..”, atau “Masih mending..”
Masyarakat Indonesia dikenal dengan ketangguhannya menghadapi kemalangan dengan mensyukuri hal-hal kecil. Agaknya dalam segala situasi, masyarakat Indonesia masih bisa melihat celah keberuntungan dalam hidupnya.
Katakanlah saat terjadi sebuah kecelakaan, beberapa dari kita pasti pernah mendengar, “Untung masih gapapa”. Dalam situasi kerja yang penuh stres pun kita masih berpikir, “Mending capek kerja daripada capek nyari kerja”. Ya kan?
Keterampilan bersyukur mengedepankan pengelihatan akan sisi positif dalam setiap aspek kehidupan. Bersyukur memang menambah kenikmatan hidup. Dalam dunia modern ini, kita bisa mengenal beragam istilah psikologi seperti, emotional agility, resilience, atau istilah lain-lainnya.
Bagiku keterampilan itu juga merupakan efek tidak langsung dan jangka panjang dari latihan bersyukur selama bertahun-tahun. Setuju?
Menurutmu adakah sisi negatif dari rasa syukur? Ya, ada. Mungkin kata “negatif” perlu diganti dengan istilah yang lebih tepat, kita akan menemukannya nanti.
Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, meskipun itu adalah hal yang positif. Terlalu bersyukur juga punya dampak yang sama.
Bersyukur mestinya menjadi reaksi, bukan aksi.
Kita bekerja dengan diliputi stres. Rekan yang toxic, gaji yang tidak standar, dan kerja keras tidak diapresiasi.
Bersyukur karena masih bekerja di tengah situasi kesulitan ekonomi adalah reaksi. Akan tetapi, membiarkan pemicu stres masuk dalam kehidupan kita adalah aksi.
Ya, akui dahulu kalau bersyukur bukan solusi. Kita tetap perlu jalan keluar yang konkret untuk menyelesaikan masalah kita.
Bersyukur kadang membuat buta.
Rasa syukur berlebihan juga bisa membuat kita menutup mata dari kebenaran. Membuat kita tidak menyadari sumber masalah sebenarnya atau bahkan tidak menyadari adanya masalah.
“Ah masih digaji ini”. Padahal gajinya di bawah standar. “Masih untung ngga keluar modal, malah dikasih fasilitas kantor”. Padahal maksudnya supaya bisa dihubungi 24 jam nonstop, lembur tanpa dibayar. Lalu, pulang dalam kondisi kehabisan energi dan stres berkepanjangan.
Kembali lagi, akui juga kalau ada yang salah. Lalu, cari jalan keluarnya.Ogah berkembang dan keengganan mengevaluasi.
Bersyukur dan merasa cukup adalah pasangan yang tak terpisahkan. Mensyukuri kecukupan saat ini tentu hal yang baik. Akan tetapi, ogah berkembang dan enggan mengevaluasi diri tampak seperti menjerumuskan diri sendiri.
Setiap orang memiliki potensi yang berbeda-beda dan diberi kapasitas berpikir yang luar biasa. Namun, apa jadinya kalau kita merasa sudah cukup baik dan memilih begini-begini saja?
Misalnya saja, asal bisa beli beras, sudah cukup. Sebetulnya tidak ada yang salah, sih. Mungkin juga hidup akan aman-aman saja. Akan tetapi, coba bayangkan jika kita bisa memilih nutrisi yang baik. Lalu, melahirkan generasi dengan genetik yang berkualitas.
Selagi dikaruniai daya ingat yang baik, mengapa tidak membaca? Jika diberi talenta kepekaan rasa, mengapa tidak membuat karya seni? Ambil kesempatan, selagi ada!
Kembali bicara soal potensi yang berbeda, kesalahan dari rasa syukur berlebihan berikutnya adalah terlalu maklum. Memang tidak ada manusia yang sempurna, tetapi kita bisa terus belajar, kok. Terlalu memaklumi diri menjebak kita untuk berhenti.
Gagal mencoba sekali, langsung berhenti. Padahal, siapa tahu bahwa sebenarnya kita punya potensi, hanya saja perlu digali.
Berbuat kesalahan, tidak mau mengakui dengan dalih maklum karena tidak sempurna. Padahal, evaluasi diri membawa peluang untuk memperbaiki keadaan.
Intinya, bersyukur itu baik, perlu, dan penting. Namun, memahami porsi dan tahu kapan harus mengakui keadaan yang sebenarnya juga tak kalah penting. Mari pilah-pilah lagi, mana yang patut disyukuri dan mana yang harusnya berhenti.